Kapan omongan mu dapat menenangkan ku?
Bagaimana bisa ku goncangkan dunia jika tangisanku saja masih kau anggap sebagai Tanda.
Tanda lemah dan menyerah bagi sebagian orang, ku agungkan emansipasi wanita. Tapi stereotip ini takkan hancur, goyang pun susah.
Kartini tolong aku, aku juga ingin dijaga. Bagaimana hancurku bisa kuceritakan dengan tenang ke orang lain tanpa ada nilai yang kuterima.
Bagaimana respon yang kuterima dapat menguatkanku, bagaimana jalanku dapat dituntun. Aku capek buat teriak-teriak ke bantal di sepertiga malam.
Aku ingin tulis thread sedih, cerita hancur yang kurangkai melalui Medium ini.
Susahnya, kata per-kata pun harus ku atur sedemikian rupa agar tidak “malu-maluin” katanya.
Maafkan aku yang banyak ngeluh, hidup sudah capek mau kemana kalo tidak ditulis di Medium. Maafkan aku yang sering bawa hawa tidak nyaman, mau istirahat saja masih dikejar kerjaan.
Aku teriak “Stop dulu”, dijawab “Mau makan apa engkau?”
Dramatisir-ku mungkin berlebih, tapi biarlah. Sepertinya cocok denganku.
Sudah capek buat meromantisasi keadaan, sudah saatnya buat lebih sadar.
Kalau hidup tidak sebaik itu buat kamu. Kalau dunia tidak selalu memihakmu. Kalau semesta akan selalu mencacimu.
Woyyy, bangun kau bangsat. Jangan nangis saja, kalau kata The Cure “Boys Don’t Cry”, mau dikata apa, toh sudah terlanjur.
…..
Ini adalah omelan tengah malam saya, dimulai dari obrolan bersama kawan saya, Muhammad Zaky Fahrudin. Sisanya, hanya omelan saya tentang hidup saya akhir-akhir ini. Kebanyakan ditulis dengan iringan lagu dari Majelis Lidah Berduri, Iwan Fals, Panji Sakti, dan yang paling spesial adalah lagu dari Stephen Sondheim, “Being Alive” .