4 Juli di Jeanne

Rafly Alkatiry
5 min readJul 7, 2024

--

Halo, bukan menjadi kebiaasaan saya untuk merangkum atau bercerita tentang rasa untuk sebuah tempat makan. Tapi kali ini, entah datang dari mana, dan muncul nya kapan. Saya ingin merangkum pengalaman saya di Kafe Jeanne.

Datang sekitar jam 7 malam, tidak terlalu sepi tidak terlalu ramai, biasa saja, flow kerja tidak yang terburu-buru sangat. Masih enak buat kita duduk sambil ngobrol.

Kesan pertama masuk adalah bagaimana ruangan itu bisa punya rasa lembab dan bau bak rumah nenek yang biasa saya kunjungi saat lebaran. Sedikit kaget dan bingung, “Kok bisa bau dan suasana kaya gini di buat ulang dengan skala ruangan yang lebih lebar dengan segala partisi nya”. Entah parfum apa yang digunakan, tapi saya suka sekali.

Selain bau, meja diagonal di sudut depan mata sesaat masuk pintu yang difungsikan sebagai kasir juga menarik perhatian saya, sedikit kurang familiar dengan penempatan yang seperti itu, tapi memang jika ditujukan untuk membentuk dimensi lain di sebuah ruang tamu rumah lawas, oke juga kok jadinya, bisa jadi refrensi baru.

Ornamen-ornamen klasik dan perintilan kecil yang sengaja ditaruh memberikan kesan rumah nenek banget, berjejer dengan foto-foto dengan frame kayu standar yang bukan apa-apa itu juga menambahkan kesan lawas, sangat membantu untuk memberi dorongan semangat tua dari si rumah itu sendiri.

Saya dan Anita, pacar saya. kami duduk di satu sudut, di balik sekat seberang meja speaker. Dari sudut itu, kami bisa melihat jendela dimana makanan keluar dari dapur, sedikit juga muncul orang-orang dengan tangan-tangan lihai memasak di belakang jendela.

Meja tersebut memiliki permukaan dari susunan ubin keramik berukuran 10cm2, disusun berbentuk 3x3, tertata rapih, walau dengan beberapa buah ubin masih menonjol ke permukaan dan tidak jarang menyandung piring atau gelas kami yang nanti akan saya jabarkan lebih terkait sajian-sajian tersebut. Duduk di lapisan kayu (kalau saya tidak salah, karena bagian bawah ada lapisan hpl warna putih, yang menurut saya kurang oke untuk perihal craftmanship nya). Berat yang anteb bikin meja dengan tiang tengah ini jadi lebih kokoh.

Anita duduk di kursi dengan bantalan empuk seperti sofa yang dibuat menyatu dengan tembok, di bawah nya pun ada stop kontak yang mana menandakan kursi atau bench tersebut dibuat paten hanya untuk tembok tersebut.

Sedangkan saya duduk di arah lawan dari Anita, yang mana disini saya duduk di kursi kayu, seperti dibuat khusus untuk kafe ini, bukan barang jadi beli di toko perabotan asal Swedia itu. Kalau misal kursi ini adalah kursi jadi. Tetaplah, kursi ini dibeli dari pengrajin mebel, yang mana tetap dibuat dengan perlahan, atau kalau kata anak sekarang adalah “Artisan” atau apalah bahasanya, saya ngga terlalu paham.

Maafkan saya…

Saya terlalu lama bahas experience, mari kita bicarakan produk nya.

Malam itu, kami memesan beberapa makanan, ada kudapan juga, dan 2 minuman.

  1. Nasi Goreng Kampung
  2. Lontong Sayur Ayam
  3. Kroket
  4. Poffertjes
  5. Soda Gembira
  6. Es Teh (Minuman paling spesial se-alam raya)

Mulai saya jabarkan sesuai dengan urutan bagaimana saya dan Anita melahap sajian tersebut ya.

Kroket. Datang berupa 2 pcs besar, bersama temannya, saus dan mustard (atau mayonais ya?). Ada lembaran kertas dibawahnya sebagai alas Kroket yang mana ini menjadi masalah saat kami potong dan sendok. Karena basah minyak, kertas jadi sobek dan sedikit menyatu dengan potongan Kroket saya, ini lumayan krusial, karena jika memang ada orang yang tidak terlalu memperhatikan, kertas nya juga akan menjadi penyedap tambahan yang tidak dimaksudkan oleh si pembuat Kroket tersebut. Saya lihat, memang rasanya sangat dominan dengan olah daging dan roux saja, hampir tidak ada tepung karena tekstur yang basah dan jatuh (sepertinya begitu ya, tolong koreksi saya yang sok tau ini). Gurih dan enak, tapi hanya itu saya yang saya dapat, selebihnya hanya eksperiens makan yang menyenangkan saja. Luar garing sekali, dalamnya lumer dan basah. Sudah.

Nasi Goreng Kampung. Jelas, ini adalah pesanana saya, sangat jarang Anita ingin mencoba nasi goreng di luaran sana, karena hanya nasi goreng yang sesuai dengan prefrensi nya yang ia mau pesan. Datang dengan telor mata sapi matang, yang mana saya tidak ditanyakan terkait prefrensi telor mata sapi saya diawal saat kami pesan makanan. Okeelah, ndakpapa walau saya lebih suka dengan telor setengah matang untuk teman nasi goreng saya. Jujur, saya sangat cocok dengan tipe nasi goreng seperti ini, kami berdua membahasakan nasi goreng ini sebagai nasi goreng “bersih”. Sangat terasa kalau nasi goreng ini bersih, biasa kita temui di kafetaria hotel. Tipe nasi nya bisa terbilang sedikit pera, walau warna nya begitu coklat, baluran kecap di tiap butir nasi tidak begitu menggumpal, digoyang diatas wok hingga lumayan kering, masih basah sedikit gitu, itu yang saya suka. Terkadang kalau di goyang terlalu kering, seringnya sih bikin gatal di tenggorokan. Satu notes untuk nasi gorengnya, acar yang datang bersamanya terlampau asin, seperti direndam di dalam cuka 3 hari 3 malam, bahkan air acar nya pun sedikit ikut masuk ke piring dan itu lumayan merusak rasa nasi goreng yang saya dambakan tadi.

Lontong Sayur Ayam. Datang dengan ayam krispi yang memukau, menjadi salah satu sorotan yang baru menurut saya. Rasanya hampir belum pernah menemukan hal serupa di warung lain. Lontong sayur nya umami, seperti lontong sayur pada umumnya. Tapi, saya dan Anita merasakan ada satu rasa yang kurang di hidangan tersebut, ada hal yang membuat saya bilang kalau lontong sayur ini kurang “manteb” gitu. Hingga selesai pun, saya tidak bisa menyimpulkan rasa apa yang sebenarnya hilang, seperti ada rasa yang mengambang saja gitu, semua seperti ditakar 3/4, tidak sepenuhnya bulat dan pulen. Ayam krispi nya menjadi penyelamat, marinasi ayamnya enakk, meresep sampai ke dalam, buttering ayamnya juga enak, datang dengan gorengan garingnya itu. Sangat menang ayam ini.

Poffertjes. Datang dengan bentuk cetakan bulat kecil, berapa jumlahnya saya sedikit lupa akan itu. Tapi tidak lewat dengan taburan gula halus di atasnya, dan sedikit potongan butter di tengah. Lembut sekali, dipotong tidak melawan sama sekali. Adonannya dibuat tawar, mungkin karena dengan sadar akan dihujani dengan gula halus kali ya. Paling enak disantap dengan mencolek butter nya terlebih dulu. Kunjungan berikutnya, saya pastikan akan meminta butter tambahan agar bisa dinikmati di setiap buah poffertjes nya.

Soda Gembira. Being soda gembira, rasanya familiar, seperti apa yang sering saya minum saat saya pergi ke Shi Jack (salah satu warung susu segar kenamaan di Solo)

Es Teh. Being es teh saja, hehehe.

Hasil akhir dari kunjungan ini adalah menyenangkan, saya dan Anita sangat menikmati waktu kami disana. Poin buruk yang menurut saya lumayan krusial adalah belum adanya kamar mandi di Kafe Jeanne ini, jadi memang harus sedikit bergerak lebih jauh keluar untuk ke kamar mandi, semoga ini hanya untuk sementara waktu ya.

Tulisan panjang ini semoga bisa menjadi gambaran untuk siapapun yang membacanya, semoga atmosfir nya bisa tertular ya. Kuddos untuk Mas Bagas dan Mba Beata “Bea” atas lahirnya Jeanne, sukses dan lancar selalu ya.

Salam dari Rafly dan Anita.

Solo. Juli, 2024.

--

--